Sepintas Tentang Cerita Sri Tanjung

Cerita Sri Tanjung adalah karya sastra yang ditulis di Banyuwangi pada abad ke 17. Saat itu Banyuwangi masih bagian dari kerajaan Blambangan, kerajaan terakhir di Jawa Timur. Ahli literatur Jawa asal Belanda, Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, menempatkan cerita ini dalam kelompok karya-karya sastra yang diberi judul ‘Original Old Javanese and Javanese-Balinese exorcist tales and related literature in a bellestric form’. Yang dimaksud ‘Javanese-Balinese’ oleh Pigeaud adalah karya-karya sastra yang mengunakan bahasa jawa-tengahan, yang sumbernya berada pada kegiatan sastra di kerajaan Jawa Timur sampai Majapahit, dan kemudian berkembang di Bali (dan wilayah kekuasaan lainnya) semasa Watu Renggong memimpin kerajaannya di Gelgel. Karya ini satu kelompok dengan karya sastra macam Calon Arang, Sudamala, Wargasari, Nawa Ruci, Subrata, dan Sang Satyawan.

Cerita Sri Tanjung diperkirakan telah lahir di Jawa Timur sekitar awal abad ke 13, dan kemudian ditransmisi secara lisan. Dalam proses itu, cerita ini terintegrasasi ke dalam kebudayaan Hindu-Jawa dengan menempatkan beberapa tokoh utama dari cerita ini sebagai keturunan dari Nakula dan Sahadewa. Misalnya pada relief di Batur Pendopo Candi Panataran-Blitar, di luar Sri Tanjung digambarkan pula tokoh bernama Sang Setyawan. Demikian pula pada Batur Candi Surawana, Para-Kediri, terdapat tokoh bernama Bubuk Sah-Gagang Aking. Dalam relief-relief tersebut terbabar kisah yang intinya mengenai pencarian kesempurnaan hidup.

Satu hal penting dalam kisah Sri Tanjung, terdapat unsur ruwatan yang dalam bahasa Bali dikenal dengan panglukatan atau panyupatan atau pabayuhan, yaitu sebuah ritual yang diselenggarakan untuk melebur hal-hal negatif dalam diri sehingga diri ini menjadi lebih kuat dan suci. Unsur panglukatan ini juga menjadi tema utama di beberapa tempat pemujaan lain seperti Candi Tigowangi (1358) di Plemahan, Kediri; Candi Sukuh (1439), serta Candi Ceto di gunung Lawu, Jawa Tengah. Pada ketiga candi tersebut terdapat relief-relief cerita Sudamala, yaitu sebuah cerita yang memiliki hubungan erat dengan cerita Sri Tanjung, yang hingga sekarang masih diusung oleh masyarkat Bali saat pelaksanaan upacara panglukatan.

Zaman sekarang, cerita Sri Tanjung masih hidup di tengah masyarakat di sekitar Banyuwangi sebagai sebuah dogeng yang menceritakan asal muasal nama 'Banyuwangi', yang berarti sungai yang harum.

Di Bali, cerita Sri Tanjung pernah populer sebagai lakon dalam drama-tari Arja pada masa kejayaannya sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an pun, di beberapa daerah di Bali, cerita ini masih banyak diangkat sebagai lakon pewayangan untuk upacara panglukatan.

Sekarang, cerita ini sudah hampir terlupakan oleh masyarakat Bali. Bahkan, ada selentingan bahwa di sebuah desa di Bali, kisah Sri Tanjung ini dilarang untuk diceritakan. Entah apa alasannya. Yang pasti, kita hanya bisa berimajinasi tentang kekuatan yang tertkandung dalam cerita ini....

Post a Comment

0 Comments